Edukasipedia.id- Fenomena matinya kepakaran adalah salah satu isu yang pernah ramai di era modern saat ini. Yaps, adanya media sosial diduga sebagai biang keladi dari fenomena ini. Sebab, adanya fenomena ini menjadikan para pakar merasa terusik, seakan jabatan akademik mereka kurang dihargai.
Matinya Kepakaran
Matinya kepakaran merupakan sebuah fenomena dimana kebenaran bisa bersumber dari mana saja, dan tak melulu harus berasal dari pakar di bidangnya.
Hal ini merupakan imbas dari geliat media sosial yang memberikan kebebasan kepada semua orang untuk bersuara dan mengutarakan pendapatnya, termasuk dalam hal-hal yang sebetulnya perlu adanya penelitian lebih lanjut dan berhubungan dengan hajat orang banyak.
Tentu kamu tidak asing dengan para influencer yang membicarakan segala hal di akun media sosialnya, baik itu seputar sosial, ekonomi, bahkan seputar politik sekalipun.
Kebebasan berbicara ini juga yang menyebabkan semua orang diberi panggung yang sama, baik mereka yang berpendidikan atau bahkan yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun.
Di sisi lain memang kebebasan berpendapat teramat penting, namun ada satu hal yang cukup krusial bilamana sesuatu tersebut diserahkan kepada orang yang sama sekali belum ahli, atau bahkan sok tahu mengenai isu yang dibicarakan di media sosial.
Dan lebih parahnya lagi, fenomena ini diamini oleh banyak masyarakat. Mereka tidak terlalu memperhatikan status sosial seseorang, selama yang mengatakan adalah orang yang mempunyai banyak pengikut dan kualitas konten yang baik, maka ada kecenderungan ia akan lebih dipercaya oleh netizen.
Bahaya Fenomena Matinya Kepakaran
Buku “Matinya Kepakaran” (The Death of Expertise) karya Tom Nichols adalah sebuah buku yang mengupas fenomena penolakan terhadap otoritas dan pengetahuan ahli di era modern.
Buku ini membahas bagaimana kemajuan teknologi dan media sosial telah memengaruhi cara masyarakat mempersepsikan informasi dan otoritas ilmiah.
Nichols menguraikan bahwa di zaman serba digital, informasi tersedia dalam jumlah besar dan mudah diakses. Namun, kemudahan ini justru membuat banyak orang merasa tidak perlu lagi bergantung pada para ahli.
Kebebasan berpendapat sering kali disalahartikan sebagai kebebasan untuk mengabaikan fakta dan analisis yang berbasis pengetahuan. Buku ini menyoroti bagaimana media sosial memperkuat bias konfirmasi dan menyebarkan informasi yang salah dengan cepat.
Menanggapi hal tersebut, Iqbal Adi Daryono-Kolumnis di media Detik menawarkan solusi mengenai fenomena matinya kepakaran. Menurutnya, sudah saatnya semua (para pakar) ikut dalam arus di media sosial, dan membentuk opini publik.
Karena medan tempurnya berada di media sosial, maka ada baiknya para pakar di bidangnya sedikit menurunkan level tulisannya sehingga mudah dipahami bagi semua pembaca, bahkan kepada orang awam sekalipun.
Lebih baik lagi jika konten mereka dibalut dengan kualitas konten yang baik, content writing yang memikat, disampaikan dengan mudah, namun tanpa menghilangkan substansi dari opini yang hendak disampaikan.
Leave a comment